Kamis, 05 Maret 2009

PEMANFAATAN TEHNOLOGI LUAR SEKOLAH

BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan factor penentu dalam kehidupan manusia. Manusia sejak lahir memiliki fitrah untuk mencarai tahu terhadap apa yang selama ini belum diketahuinya. Tantangan globalisasi telah memaksa manusia untuk mengetahui setiap informasi yang berkembang. Kemampuan dalam memperoleh informasi secara cepat akan menjadikan manusia sebagai seorang yang siap untuk memegang tali kendali dalam dunia global. Dalam rangka inilah manusia memerlukan kecanggihan dalam teknologi yang dapat membawanya pada tahap pencapaian pengetahuan yangtinggi dalam pendidikan

Menurut Eric Ashby pendidikan modern mengalami empat macam perkembangan besar yang ia lukiskan dengan revolusi dalam pendidikan: yaitu (1) tumbuhnya profesi “guru”, (2) pemakaian bahasa tulisan, (3) penyediaan buku sebagai akibat di temukannya tehnik pencetaan dan (4) teknologi yang produknya berupa alat optic, mekanik dan elekrtonik.[1]

Berkembangnya teknologi yang canggih dalam peradapan global telah memberikan peluang tersendiri terhadap kesempatan belajar yang sulit didapatkan tanpa adanya teknologi tesebut. Kemajuan teknologi sebagai sebuah alternative jawaban terhadap kebutuhan pendidikan yang selama ini terasa sulit untuk ditempuh oleh sementara kalangan yang mengalami keterbatasan baik disisi transportasi maupun biaya.

Oleh karenanya kemajuan teknologi yang ada harus diarahkan dalam rangka mengatasi problema pendidikan yangada. Teknologi pendidikan diharapkan mampu memberikan layanan yag efektif guna memperlancar proses belajar mengajar dalam pendidikan di luar sekolah.

Makalah ini akan membahas sekilas tentang gagasan pemanfaatan teknologi diluar sekolah sebagai sebuah alternative jawaban atas persoalan pendidikan yang masih tersisa di belahan nusantara.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perlunya Perubahan Paradigma Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara-negara.[2] Pendidikan dalam konteks ke Indonesiaan sebagaimana tertera dalam peraturan perundang-undangan pemerintah diatas memebrikan pemahaman bahwa pendidikan di selenggarakan dalam rangka membentuk pribadi-pribadi yang siap dan mampu mengikuti perkemabangan secara global.

Bagi Negara maju dan Negara berkembang tertentu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta system informasi yang begitu pesat, mendorong paksa berbagai aspek “Suprasistem sosialnya”, khususnya system pendidikannya untuk mengubah visi, misi dan strateginya secara revolusioner. Revolsioner pendidikan berarti secara totalitas menjabarkan konsep Teknologi Pendidikan (TP) dalam berbagai bentuk dan tingkatanimplementasinya, sehingga efisiensi dan efektifitas penggunaan sumber daya yang ketersediaannya sangat terbatas dapat tercapai, dan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat disediakan.

Menurut laporan Nana Sudjana, masyarakat industriabad pertengahan telah menggantikan tenaga manusia dan binatang dengan tenaga mesin yang digerakkan oleh minyak bakar dan listrik. Kini masyarakat teknologis telah menggantikan pikiran manusia dengan pikiran mekanis computer, dengan kecepatan, ketepatan, serta kemampuan yang memungkinkan memecahkan masalah-masalah teknis dan organisasi yang amat kompleks. [3] Kondisi ini memaksa manusia untuk benar-benar mampu memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada. Demikian halnya dalam memenuhi hajat kebutuhannya manusia harus berfikir keras untuk bias menghasilkan teknologi yang lebih canggih dan bisa memenuhi kebutuhannya secara pasti.

Di Hungaria, perkembangan implementasi TP pada jalur sekolah dan luar sekolah dibedakan menjadi 2(dua) tahap evolusi. Evolusi pertama, terjadi pada tahun 1945-1975, yaitu decade dimana suplementasi pendidikan terhadap pendidikan sekolah terjadi dengan sangat cepat, hal ini dipahami sebagai bentuk kontribusi Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dan pendidikan orang dewasa terhadap system pendidikan nasionalnya. Metode pembelajarannyadi tekankan pada kemampuan belajar mandiri. Suplemen PLS tersebut dapat menampung 7% dari jumlah total orang dewasa dan ank-anak di Negara tersebut. Evolusi kedua, terjadi mulai tahun 1975 yang ditandai dengan melemahnya peran sekolah formal dan membesarkannya partisipasi pada pendidikan non regular yang mempunyai peserta belajar sebanyak 2/3 dari jumlah anak yang terdaftar di sekolah (Corrn and Corrn Hill, 1991: 14-16)

Masih banyak kasus lainnya yang serupa, yang secara jelas menunjukkan bentuk-bentuk peranperan TP dan PLS untuk memperkuat system PLS sehingga mutu keluarannya menjadi lebih baik. Di Singapura, sejak 1982 pemerintah secara tegas melalui kebijakkannya menetapkan TP wajib digunakan di sekolah dan pendidikan Tinggi untuk memperbaiki system persekolahan dan pendidikan Tinggi dimana pendekatan andragogi sebagai dasar dalam merancang setiap satuan pembelajaran disekolah. Melalui kebijakan ini guru dan murid yang secara langsung terlibat dalam pendidikan dituntut untuk mampu mamanfaatkan dan menggunakan teknologi yang ada. Dengan kebijakan Singapura telah mengambil satu lompatan besar dalam memajukan pendidikan dinegaranya.

Dilihat dari karakteristik TP dan PLS (yang didasari oleh andragogi) ternyata cukup banyak persamaan antara keduanya dan terbukti secaa empiric bahwa PLS merupakan salah satu bentuk implementasi di konsep TP. PLS merupakan bentuk upaya didalam mengatasi keterbatasan sementara kalangan yang belum mampu untuk mengikuti pendidikan di sekolah karena keterbatasan dana dan transportasi.

Di tinjau dari definisinya, PLS ialah seni dan ilmu untuk menolong orang dewasa dan belajar sebagai antithesis dari pedagogi atau ilu mendidik anak (Knomles, Halton III dan Swanson, 1998:61). Dalam PLS karakteristik orang dewasa merupakan factor utama dalam setiap rancangan dan tindakan pembelajaran. Hal yang sama juga terjadi pada pembelajaran yang berdasarkan konsep TP.

Karakteristik dar9i orang dewasa dalam belajar antara lain : (1) memiliki kemampuan belajar mandiri kuat, (2) memiliki motovasi belajar kuat, (3) pengalaman hidup dan belajarnya yang sangat luas dan memudahkan proses belajar selanjutnya dan (4) kematangan fisik dan mentalnya menjadikan orang dewasa dapat menganalisis dan memutuskan berbagai hal yang terkait dengan belajarnya secara tepat.

Berdasarkan rancangan model dan pendekatan system pembelajaran yang tepat dapat dilaksanakan implementasi proses pembelajaran yang berkwalitas, dan sesuai dengan kondisi, potensi dan hambatan peserta didik secara individual pada setiap program PLS. Ketidakkonsistennya dalam menetapkan TP di jalur PLS mengakibatkan enrollment rate pada PLS yang sangat rendah. Sedangkan tingkat dropped out warga pada belajar cukup tinggi serta sebagian besar outputs pendidikannya masih menjadi masalah bagi bangsa ini, bukan menjadi solusi sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan PLS.

Paradigma yang mengatakan bahwa adaptasi dan adopsi TP dan PLS merupakan usaha yang sangat ,mahal dan kurang cocok dilihat dati karakteristik sasaran didiknya, merupakan paradigma lama yang tidak secara jujur dan mendalam analisisnya. Karena perkembangan teknologi pendidikan yang begitu pesat yang beinkarnasi menjadi globalisasi informasi (bukan globalisasi informasi menumbuhkkan TP), mengakibatkan batas-batas Negara, kekangan politik dan batasan wilayah suatu Negara atau pemerintahan dalam menyelenggarakan jalur PLS dapat menggunakan peluang emas tersebut dan mengambil manfaat yang sebesr-besarnya untuk mengatasi pengangguran, drooped out dari jalur sekolah, anak yang tidak sekolah dan perguruan tinggi, serta warga masyarakat yang akan meningkatkan ketrampilan dan keahliannya sehingga kehadiran PLS menjadi sangat diperlukan oleh berbagai sasaran pendidikan (siswa, mahasiswa, pekerja, pegawai, buruh, masyarakat awam, ibu rumah tangga, para politisi, ilmuwan, praktisi berbagai bidang, dan sebagainya). Hal ini sangat memungkinkan untuk memberikan pelayanan pendidikan secara serempak dalam cakupan nasional melalui pendidikanjarak jauh yang didukung oleh metode belajar kelompok dan mandiri. Disamping yang telah diuraikan diatas, kesulitan sifat diantara keduanya antara lain ialah dalam hal: manajemen atau system pengelolaan kegiatan/kelompok pembelajaran dan pembelajaran yang menekankan pada belajar mandiri.

Dengan system pembelajaran jarak jauh, peserta belajar sangat memungkinkan untuk melakukan aksesbilitas sumber belajar dari segala berada dan kapanpun memerlukannya. Disamping itu, kohesi antara konsep TP dengan salah satu sifat PLS yaitu fleksibilitasnya dalam melayani kebutuhan belajar masyarakat dan dalam menyesuaikan diri terhadap segala perkembangan iptek tersebut, menjadikan PLS selalu up to date . Fenomena tersebut akan terus bergulir dan tidak terbantahkan. Oleh sebab itu implementasi kebijakan PLS yang berdasarkan pada konsep TP dapat mengoptimalkan peluang dan menagtasi tantangan dalam era globalisasi untuk dapat memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya terhadap pembangunan peradapan manusia Indonesia. Untuk itu, pada aspek tertentu, perlu dilakukan redifinisi dan redesain,terhadap berbagai pendekatan dan komponen PLS termasuk redefinisi terhadap model-model pembelajaran, peran tutor, instruktur, proses pembelajaran, bahan belajar dan system penilaian yang digunakan. Apabila hal itu data dilakukan maka cita-cita PLS untuk mewujudkan pendidikan sepanjang hayat (life long learning) dan tidak ada batas dalam belajar (no limit to learn) dapat menjadi kenyataan, yang secara totalitas sesungguhnya mewujudkan masyarkat gemar belajar ( learning society), tentukan kebutuhan peserta didik yang terus berubah dan meningkat.

B. Kontribusi PLS dalam Pembangunan Pendidikan Nasional / SDM

Aplikasi praktis teknologi pendidikan akan mempengaruhi bidang pendidikan dalam berbagai macam bentuk. [4] PLS merupakan salah satu bentuk nyata adanya implementasi dari berkembangnya teknologi pendidikan pendidkan yang memungkinkan adanya transfer of knowledge dari pendidik kepada peserta didik walaupun berada di tempat yang relative berjahuan.

Berdasarkan undang-undang Sistem pendidika Nasional, nomor 20 tahun 2003, pasal 13, disebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal. Namun demikian secara konseptual, jalur informal sesungguhnya bagian pendidikan non formal, akan tetapi bias saja terjadi di jalur pendidikan formal.

Di Indonesia, PLS memiliki sejarah dan semangant panjang dan sejalan dengan sejarah tersebut nama PLS berubah-ubah terus. Sejak PLS dinamai pendidikan masyarakat, kemudian berubah menjadi PLS dan sekarang sudah sesuai dengan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, pasal 13 dinamai pendidikan Non Formal. Sesuai dengan fungsi PLS sekolah, PLS mempunyai cakupan garapan, yang sangat luas. Di Negara maju yang kualitas jaur sekolahnya sudah baguspun peranan PLS masih tetap besar, apalagi di Indonesia dimana kenyataannya PLS belum dimanfaatkan sesuai dengan potensi dan kemampuannya yang cukup besar sehingga kontribusinya belum cukup optimal.

C. Manfaat Implementasi TP dan PLS

a. Manfaat media masa

Tahun 1996 merupakan tahun pengakuhan terhadap penerapan asas belajar sepanjang hayat di Eropa. Sejak saat itu terdapat peningkatan kesadaran mengenai pentingnya belajar selama hidup. Berbagai kegiatan dilakukan oleh 12 negara anggota Uni Eropa dengan tujuan pokok tumbuhnya masyarakat belajar. [5] Seiring dengan diakuinya asas belajar ini, maka pendidikan tidak hanya berlaku bagi seorang yang mengikuti pembelajaran di bangku pendidikan formal. Akan tetapi proses belajar bias dilakukan dimanapun, dan kapanpun seorang berada. Diantaranya ada yang memanfaatkan media masa.

Media masa memiliki peran yang besar dalam pendidikandi masyarakat. Media masa memberikan serangkaian informasi yang up to date dan dapat membentuk pola piker masyarakat. Media masa khususnya TV dan media otak mestinya lebih banyak atau dapat dimanfaatkan untuk program-program pendidikan namun kenyataannya, media masa tersebut lebih banyak didominasi oleh tayangan dan gambaran tentang kekerasan, mudahnya memperoleh narkoba, pornografi, symbol-simbol pelanggaran HAM dan ketidakadilan gender. Gencarnya tayangan dan gambar serta berita seperti itu akan mempengaruhi dan membentuk opini dan sikap masyarakat, khususnya anak-anak dan generasi muda kearah sikap dan perilaku yang kontraproduktif.

b. Tutorial

Tutorial merupakan salah satu model pembelajaran yang sangat tua yang sudah dilakukan sejak zaman Yunani dan Roma Purbakala dan tercatat didalam teks-teks kuno jauh sebelum masa tersebut. Selama berabad-abad peran metode pembelajaran tutorial naik turun ( Keith Topping, 1992; 166). Belajar pada jalur PLS lebih menekankan pada peran belajar tutorial, kelompok dan mandiri sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan dan secara konseptual sangat positif. Namun karena tutor, merupakan memiliki cukup banyak keterbatasan dalam pemahaman dirinya sebagi tutor. Dengan demikian dalam PLS sebagian besar tutor belum memiliki kualifikasi tehnis (metodologis dan akademis) sebagai tutor. Dampaknya ialah proses pembelajaran di PLS dilakukan seperti proses pendidikab di sekolah yang lebig menekankan pada metode ceramah dan tatap muka oleh guru yang berperan sebagai tutor. Sedangkan metode belajar mandiri dan kelompok dilakukan dengan seadanya saja. Dengan demikian tutor pada umumnya belum mampu melaksanakan tugasnya sebagai tutor yang ideal mestinya mampu mengembangkan anak dalam mencarai dan menemukan pengetahuan, ketrampilan social dan komunikasi, dan meningkatkan harga diri peserta didik. Tutor harusnya mempu melakukan lebih banyak kerja praktik, membantu peserta didik, banyak bertanya bukan menjawab, mendemontrasikan cara menguasai materi pembelajaran melalui proses pembelajaran partisipasif, memberikan cukup contoh-contoh mengolah dan merespon jawaban yang salah, serta mampu menghidupkan dan meluaskan gagasan warga belajar yang sudah berkarat. Secara konseptual, tutorial mestinya dapat dilakukan secara efektif dan efisien termasuk efisien dalam pembiayaan dan dapat meningkatkan prestasi belajar (Bloom, 1984, Kulik and Kulik, 1982, Rocrbeck, dkk, 1999, Sparphy and Sparphy, 1981, Topping and Ehly, 1998, Walberg and Haertel, 1997)

c. Pengembangan Program kurang memadai

Pengembangan kualitas dan kuantitas program PLS sejak 1964 sampai dengan saat ini masih sangat terbatas. Misalnya program Kelompok Belajar Usaha (KBU) dan magang yang sampai saat ini tidak ada peningkatan kualitasnya. Hal ini terjadi karena desain program dan ketentuan lainnya masih tetap sama seperti dahulu kala, sehingga semakin tidak menarik minat masyarakat karena tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat perkembangan berbagai factor yang terkait dengan kedua program tersebut. Program Paket A setara SD dan paket B setara SLTP juga semakin kehilangan pamornya karena semakin sedikit warga masyarakat yang tak sekolah di SD dan SLTP yang tertarik menjadi peserta pelajar kedua program tersebut. Sementara itu berbagai program yang diperlukan masyarakat, yaitu program-program untuk penanggulangan kemiskinan dan pengangguran yang sangat diperlukan masyarakat kurang memperoleh tanggapan dari Depdiknas. Program permberatasan buta huruf serta metodologis memang sudah diperbaiki; akan tetapi cara pengelolaannya masih tidak berubah, sehingga program tersebut juga kehilangan semangatnya dan kurang didukung oleh masyarakat luas. Satu-satunya program PLS yang sangat dinamis dalam merespon perkembangan kebutuhan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi ialah kursus-kursus yang deselenggarakan masyarakat, bahkan sekarang cukup banyak lembaga kursus yang melakukan kerja sama dengan Negara lain dan telah menyusun standar kompetensi internasional, sehingga tamatannya diakui oleh Negara tersebut dan dapat bekerja di Negara asing lainnya.

d. Anggaran PLS

Upaya untuk mengembangkan suatu system pendidikan yang berporos pada asas –asas pemerataan, relevansi, mutu, efisiensi dan efektifitas dikaitkan dengan tujuan dan cita-cita pendidikan di Indonesia, dalam kenyataannya menghadapi seperangkat masalah yang perlu direnungkan, dikaji, dibahas baik dari segi pemikiran teoritis maupun pengamatan empiric. Masalah efisiensi dan relevansi di pendidikan mempunyai kaitan langsung dengan konsep pembiayaan.[6] PLS sebagai salah satu system pendidikan sudah barang tentu memiliki masalah dalam hal pembiayaan.

Kalau saja ada National Policy Strategic tentang PLS yang secara jelas menyebutkan perannya untuk mengatasi pengangguran, maka kontribusi PLS akan sangat besar terhadap pembangunan ekonomi dan SDM Indonesia. Untuk itu tentunya diperlukan SDM pengelolaan yang handal dan anggaran PLS yang layak. Namun sejak tahun 1994 anggaran PLS sangat minim, sehingga tidak memungkinkan untuk dapat memberikan kontribusi yang optimal seperti yang diharapkan.

BAB III

PENUTUP

Dari pemaparan makalah diatas dapat diambil kesimpulan:

1. Teknologi Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam PLS

2. Dalam menggunakan teknologi pendidikan diluar sekolah perlu adanya perubahan paradigma pendidikan diluar sekolah

3. Penerapan teknologi pendidikan diluar sekolah sesungguhnya tidaklah memerlukan biaya mahal akan tetapi hanya pada wilayah proses dan teknik penyelenggaraan teknologi tersebut.

4. Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan (SDM) Negara perlu kiranya untuk memeperhatikan pendidikan diluar sekolah.

DAFTAR RUJUKAN

- Yatim Riyanto, Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V,

(Depdikbud , Dirjen Perguruan Tinggi, 1983/1984)

- Depag RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI, (Jakarta; Depag RI,

2006)

- Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Teknologi Pengajaran, (Bandung: Sinar

Baru, 1989)

- D. Sudjana, Pendidikan nonformal, (Bandung: Falah Production, 2004),

-

- Moch. Idochi Anwar Administrasi, Pendidikan dan Manajemen biaya

pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2004)

- UNESCO, Education for the Twenty First Century, Paris: UNESCO

Publishing, 1998

- UNESCO, Learning : The Treasure Within, Paris: UNESCO Publishing,

1998

- Gabriel Carron and Ray A.Carr-Hill, Non Formal Education: information and

Planning Issues, Paris: International

Institute for Education Planning (IIEP)

, 1991

- Malcon S.Knowlws, Elwood F. Holton III and Richard A Swanson, The Adult

Learner: The Definitive Classion Adult

Education and Human Resource,

Houston, Texas: Gulf Publishing, Co,

1998

- Sudjarwo S, Kinerja Politik Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta: UNJ, 2002

- The International Academy Of Education – IAE and the International Bareau

of Education – IBE, UNESCO Printed

, 2001



[1] Yatim Riyanto, Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V, (Depdikbud , Dirjen Perguruan Tinggi, 1983/1984), 14

[2] Depag RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI, (Jakarta; Depag RI, 2006), 5

[3] Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Teknologi Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru, 1989), 26

[4] Yatim Riyanto, Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V, (Depdikbud , Dirjen Perguruan Tinggi, 1983/1984), 9

[5] D. Sudjana, Pendidikan nonformal, (Bandung: Falah Production, 2004), 252

[6] Moch. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan Manajemen biaya pendidika, (Bandung: Alfabeta, 2004), 119-120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar